BREAKING NEWS

Main Slider

5/Food/slider-tag

Selasa, 18 Juni 2019

Ranking yang Tak Penting

Dulu saat kita menerima raport, apa yang pertama kali di lihat? Deretan angka pada setiap pelajaran atau bagian bawah yang menunjukkan urutan ke berapa diri kita. Yang membuat bahagia jika berada di urutan pertama atau menjadi tidak ingin pulang ketika berada di urutan terakhir. Ditambah lagi harus siap menerima respon apapun dari orang tua jika tidak sesuai harapan mereka. 

Masa yang membuat  waswas bagi kebanyakan anak sekolah dan orangtuanya. Yang juara akan jumawa dengan keberhasilannya sedangkan yang mendapat ranking terakhir terancam dimarahi dan dicap bodoh.

Jika di rumah anak merasa di bandingkan dengan saudaranya yang memiliki hasil rapot lebih baik  dan terkadang orang tua lebih perhatian dan memenuhi dengan cepat  kebutuhan anak yang lebih pintar, sejatinya kitalah yang menciptakan kompetisi tidak sehat di rumah.

Meski ranking atau peringkat pendidikan Indonesia termasuk rendah dalam perkembangan pendidikan dunia, yakni rangking 57 dari 65 negara dunia versi Organisation for Economic Cooperation Development (OECD). Awalnya tujuan dari sistem rangking supaya siswa termotivasi mendapat nilai tinggi dalam semua pelajaran di sekolah, sehingga mereka belajar dengan keras. Selama ini sistem kompetisi dalam dunia pendidikan dipercaya akan menciptakan semangat dan etos belajar siswa.

Tapi sistem itu sangat mungkin merugikan siswa-siswa yang punya masalah belajar beraneka ragam. Sumber daya dan kemampuan siswa terhadap pelajaran pun berbeda. Sangatlah tidak adil jika memukul rata kemampuan siswa yang bisa ikut les bermacam-macam pelajaran dan tercukupi gizinya dengan siswa yang kurang memiliki waktu belajar. Misalnya, karena mereka harus membantu orangtuanya bekerja.

Sistem ranking itu adalah sistem yang tidak adil dan berbahaya bagi perkembangan konsep diri anak karena yang menjadi patokan selalu nilai rata-rata. Jika sebuah kelas terdiri dari 40 anak, maka semakin rendah rankingnya berarti semakin bodoh anak itu. Anak berpikir secara linier dan cenderung akan menerima kenyataan bahwa ia bodoh karena berada di ranking bawah,” tulis Adi Gunawan dalam Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan? (2005). 

Merasa bodoh tidak jarang membuat motivasi belajar menurun. Saat perhatian siswa teralih ke hal-hal di luar kegiatan belajar formal, tidak jarang mereka juga dicap nakal. Ada pula kasus siswa rela disebut nakal demi menutup rasa rendah diri karena dicap bodoh. Anak didik bisa jadi berpikir, “Buat apa belajar jika hanya terus menerus dicap bodoh dan tidak mendapat kemampuan apapun?” 

Siswa di peringkat atas dalam sistem rangking juga tidak jarang mendapat beban mental yang rawan membuat mereka terpuruk pada  kondisi psikisnya. Mereka bisa tertekan jika peringkatnya turun. Tidak jarang ada siswa tiba-tiba drop kondisi tubuhnya saat ujian akhir semester karena terlalu lelah belajar. 

Anak dengan ranking teratas sering jadi anak kesayangan guru yang membuat ekspektasi terhadap mereka menjadi tinggi. Ranking teratas haruslah bisa selalu dapat nilai tertinggi dalam ujian atau melanjutkan ke sekolah bergengsi. Siswa “berprestasi” relatif selalu ada dalam sorotan.

Padahal dalam dunia kerja tidak ada jaminan siswa yang selalu ranking satu di sekolah akan lancar karirnya. Thomas Alva Edison bahkan dicap bodoh di sekolah, tapi jadi pemilik banyak hak paten yang membangun perusahaan raksasa bernama General Electric. Bahkan dia bukanlah mahasiswa teristimewa di kampusnya.

Berdasarkan teori Multiple Intelligence, dalam dunia pendidikan sejatinya tidak ada anak yang bodoh. Mereka mempunyai kemampuan pada aspek-aspek yang berbeda. Ada yang cerdas di bidang matematika, ada yang berbakat di bidang musik, ada yang menyukai dan cepat mampu di bidang olahraga, menggambar, dan lainnya.

Psikolog Sartono Mukadis pernah mengatakan sistem ranking kelas di sekolah merupakan bentuk pelecehan pada anak karena akan membuat keadaan menjadi tidak sehat. Tapi tetap saja ada semacam obsesi untuk meranking, mengukur prestasi belajar anak-anak.

Menurut Adi W Gunawan, "cara paling adil dan baik mengukur prestasi anak adalah dengan membandingkan prestasi saat ini dengan prestasi sebelumnya.” 

Alhamdulilah, seiring perkembangan zaman dalam dunia pendidikan sistem rangking sedikit demi sedikit mulai di hapuskan, orang tua di pahamkan bahwa setiap anak cerdas dan memiliki potensi masing-masing. Tugas kita hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki. Karena setiap anak di lahirkan  cerdas sebagai karunia sang Pencipta. Jadi jangan memberi respon negatif  jika hasil rapot anak kita tidak sesuai harapan, yakinlah bahwa mereka punya potensi yang tidak kita punyai.

By: Wuri Relistiani

Posting Komentar